Saatnya Pemkab Lumajang Lakukan Rekonsiliasi Tambang Pasir

Oleh : Zetta K. Pramudita

Tambang pasir di Kabupaten Lumajang memiliki masalah yang begitu komplek, bukan hanya saat ini saja, melainkan mulai dari awal adanya pertambangan hingga jatuh memakan korban untuk yang kesekian kalinya. Saat ini tambang pasir di Kabupaten Lumajang memang semakin liar dan tanpa ada batasan-batasan eksploitasi. Apakah kami harus menunggu lebih lama lagi? Apakah kami harus bertumpah darah lagi? Ataukah kami harus berseteru dengan saudara-saudara kami sendiri?

Lumajang yang dikenal sebagai daerah penghasil pasir besi terbaik, memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah untuk kelangsungan hidup rakyatnya secara merata. Ketika sumber daya alam tersebut mampu dikelola dengan baik oleh Pemerintah Daerah, akan mampu menjawab kelangsungan dan kesejahteraan rakyat Lumajang. Akan tetapi semua, itu hanya menjadi harapan belaka. Karena sumber daya alam tersebut sampai saat ini banyak yang dikelola dan dikuasai oleh pihak asing, yang mana semua itu bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat."

Tragedi pada 26 September 2015 lalu, mengingatkan kita pada analisah mengenai dampak lingkungan atau AMDAL dari eksploitasi tambang pasir di Kabupaten Lumajang.  Semakin lemahnya Pemerintah, semakin panas pula gesekan yang terjadi di tengah masyarakat. Beberapa tahun yang lalu, masalah ini sudah coba dibongkar oleh almarhum mantan Bupati Lumajang ke 11 yaitu Dr. H. Sjahrazad Masdar, M.A. Namun sebelum perjuangan beliau selesai, beliau meninggal pada 23 Januari 2015 di Graha Amerta RSU dr. Soetomo, Surabaya. Dan akhirnya tidak membuahkan hasil yang memuaskan.

Setiap kebijakan selalu menimbulkan masalah pro dan kontra. Karena setiap individu maupun kelompok masyarakat memiliki kepentingan-kepentingan yang berbeda. Tinggal menghitung seberapa banyak masyarakat yang diuntungkan dan masyarakat yang dirugikan. Jika tambang pasir diberhentikan, maka seberapa banyak masyarakat yang diuntungkan dan seberapa banyak masyarakat yang dirugikan. Begitu pula sebaliknya, jika tambang pasir dibiarkan, maka seberapa banyak masyarakat yang diuntungkan dan masyarakat yang dirugikan. Pemerintah harus lebih jeli dalam membuat kebijakan ini. Ingat Pendapatan Asli Daerah atau PAD Kabupaten Lumajang dari tambang pasir menurut Ketua DPRD Lumajang Agus Wicaksono, pada setiap tahunnya mencapai triliunan rupiah, walau pada 2010 pendapatan dari pasir mencapai Rp. 5.179.410.200, tahun 2012 menurun menjadi Rp. 3.292.118.000, tahun 2013 Rp. 2.210.590.000 dan pada tahun 2014 menurun hingga Rp. 75.835.000.

Memang benar PAD Kabupaten Lumajang dari pasir mencapai triliunan, Namun perlu diingat kembali, apakah sudah sesuai antara jumlah eksploitasi pasir dengan jumlah laporan PAD pada setiap tahunnya? Dan Amdal dari eksploitasi secara besar-besaran, apakah sudah terfikirkan sebelumnya? Bukan hanya itu saja, apakah pernah menghitung jumlah korban laka lantas yang terjadi akibat armada yang digunakan tidak sesuai dengan kelas jalannya?

Aksi turun kejalan untuk melakukan penolakan terhadap tambang pasir ilegal sudah dilakukan berulang-ulang kali. Sosialisasi-sosialisai tentang tambang pasir yang didatangi oleh tokoh masyarakat, penambang pasir dan Pemerintah sudah dilakukan. Diskusi-diskusi publik antara LSM dan masyarakat sudah dilakukan berkali-kali. Namun semua hasilnya tidak bisa diaplikasikan dalam bentuk kebijakan yang mengkrucut kepada suatu kebenaran. Tidak lain lagi karena menurut Collins, seorang ahli sosiologi, konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial.

Dahrendorf (1998) mengungkapkan dalam pandangan teori konflik, bahwa masyarakat selalu dalam kondisi perubahan. Dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangsih bagi terjadinya konflik di masyarakat. Dalam pandangan teori ini bahwa masyarakat disatukan oleh “ketidak bebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi kekuasaan dan otoritas “Selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistemis”. Dengan adanya perbedaan distribusi kekuasaan inilah kemudian memunculkan dua kelompok yang berbeda posisi, yakni kelompok dominan dan kelompok yang berada pada subordinat. Mereka yang berada pada posisi dominan cenderung mempertahankan status quo. Sementara yang berada pada posisi subordinat selalu berupaya mengadakan perubahan secara terus menerus.

Sekarang saatnya pemerintah mengambil alternatif teoritis untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Yakni, pencegahan konflik, pola ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kekerasan dalam konflik. Penyelesaian konflik, bertujuan untuk mengakhiri kekerasan melalui persetujuan damai. Pengelolaan konflik, bertujuan membatasi atau menghindari kekerasan melalui atau mendorong perubahan pihak-pihak yang terlibat agar berperilaku positif. Resolusi konflik, bertujuan menangani sebab-sebab konflik, dan berusaha membangun hubungan baru yang relatif dapat bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. Transformasi konflik, yakni mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas. Dengan mengalihkan kekuatan negatif dari sumber perbedaan kepada kekuatan positif.

Menurut hemat saya, rekonsiliasi tambang pasir harus dilakukan oleh pemerintah sekarang juga. Sebelum korban berjatuhan semakin banyak. Rekonsiliasi ini bukan suatu bentuk diskriminasi Pemerintah terhadap suatu golongan tertentu, tetapi rekonsiliasi ini adalah konsensus atau kesepakatan yang dicapai untuk bersama-sama menemukan hasil yang tidak merugikan antara pihak penambang pasir dan pihak masyarakat luas.

Dalam rekonsiliasi ini akan melahirkan asusmsi-asumsi penyelesaian konflik. Pertama, Kalah–Kalah yaitu setiap orang yang terlibat konflik akan kehilangan tuntutannya jika konflik terus berlanjut. Kedua, Kalah-Menang yaitu salah satu pihak pasti ada yang kalah, dan ada yang menang dari penyelesaian konflik yang terjadi. Jika yang kalah tidak bisa menerima sepenuhnya, maka ada indikasi munculnya konflik baru. Ketiga, Menang-Menang yaitu dua pihak yang berkonflik sama-sama menang. Ini bisa terjadi jika dari dua belah pihak kehilangan sedikit dari tuntutannya, namun hasil akhir bisa memuaskan kedua belah pihaknya.

Sekarang tinggal kita sendiri yang bisa menyikapi hal ini bersama. Akankah kita akan menjadi serigala bagi saudara kita yang lainnya? Apakah serigala itu yang akan menghabiskan kita semua? Ataukah kita yang akan melawan serigala itu bersama?